BOOKING TIKET PESAWAT

BI dan Rafat Ali

BI dan Rafat Ali. Info sangat penting tentang BI dan Rafat Ali. Mengungkap fakta-fakta istimewa mengenai BI dan Rafat Ali

BI dan Rafat Ali

Rafat Ali Rivzi, buron polisi dan Kejaksaan Agung dalam kasus Bank Century, masuk dalam daftar yang akan dimintai keterangan oleh Panitia Khusus Hak Angket DPR Kasus Century (Pansus Century). Rafat adalah pemegang saham Bank Century. Pemegang saham lainnya adalah Robert Tantular, Hesham Al-Warraq, dan publik. Sebagai buron polisi, keberadaan Rafat yang warga negara Inggris itu tak jelas. Namun ia dikabarkan berada di Singapura. Mendatangkan Rafat ke Senayan jelas bukan perkara gampang. Buronan atau tersangka mana yang mau datang bila kemudian ditangkap. Karena itulah, pansus merencanakan, bila tak bisa mendatangkan Rafat ke DPR, perwakilan pansus akan menemui Rafat di Singapura.

Rafat adalah satu dari puluhan buron penegak hukum Indonesia yang nyaman berdiam di "negeri singa" itu. Ini makin mengukuhkan posisi Singapura sebagai surga bagi para tersangka dan terpidana kasus kejahatan di Indonesia. Rafat dinilai banyak mengetahui tentang seluk-beluk Bank Century, dari sebelum merger hingga menjadi Bank Century. Sebagaimana diketahui, Century adalah hasil merger tiga bank, yakni Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac, pada 8 Desember 2004. Rafat Ali adalah pemegang saham pengendali tiga bank itu sebelum merger.

Kisah merger itu diawali langkah Chinkara Capital Limited Ltd yang mengakuisisi Bank Danpac dan Bank Pikko pada 2001. Chinkara adalah perusahaan milik Rafat Ali yang berdiri di Kepulauan Bahama pada 1999. Sebagai bentuk keseriusan mengakuisisi Pikko, Chinkara menempatkan dana setoran modal dalam escrow account (rekening penampung) sebesar US$ 12 juta di Bank CIC. Di CIC, Chinkara menjadi pemegang saham pengendali, meski kepemilikannya hanya 16,57%. Chinkara kemudian meminta persetujuan Bank Indonesia (BI) atas akuisisi terhadap 66,65% saham Bank Pikko.

Untuk menilai keseriusan Chinkara mengambil alih Pikko, BI meminta Chinkara mengalihkan setoran modalnya dari escrow account di CIC ke Pikko. Untuk menyelesaikan aspek legalitas setoran dana Chinkara, Pikko melaksanakan penawaran umum ke publik dari 28 Mei 2001 hingga 5 Juni 2001. Jumlah saham yang ditawarkan senilai Rp 128 milyar. Chinkara memborong seluruh saham itu sehingga memiliki 66,65% saham Pikko. Melalui bursa, atas nama Morgan Stanley Nominee, Chinkara memiliki saham Pikko 20,17%. Sehingga total saham Chinkara di Pikko adalah 86,92%.

Chinkara juga meminta izin BI atas akuisisinya terhadap 55,39% saham Bank Danpac. Melalui bursa, atas nama Finansa Investment Advisor dan Morgan Stanley Nominee, Chinkara juga membeli saham Danpac sebesar 30,51%. Sehingga total kepemilikan Chinkara di Danpac adalah 85,9%.

Aturan Dilanggar, Akuisisi Jalan Terus

Pada 27 November 2001, BI membahas permohonan izin Chinkara atas akuisisi terhadap Pikko dan Danpac. Hasil rapat ini dituangkan dalam Ringkasan Eksektif Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diteken Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1, Siti Fadjrijah, dan Deputi Gubernur Senior, Anwar Nasution.

Dalam ringkasan eksekutif itu disebutkan bahwa kepemilikan Chinkara di Pikko dan Danpac telah memenuhi kategori akuisisi bank. Sehingga harus memenuhi persyaratan dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/51, tanggal 14 Mei 1999, tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum.

Ringkasan eksekutif itu mencatat beberapa persyaratan administratif yang belum sesuai dengan ketentuan. Yakni, rancangan akuisisi belum dipublikasikan di surat kabar karena proses setoran modal dilakukan terlebih dulu oleh investor. Chinkara baru didirikan pada 8 Oktober 1999, sehingga tidak dapat menyampaikan laporan keuangan tiga tahun buku terakhir. Selain itu, rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal tidak jelas memberikan informasi mengenai performa Chinkara.

RDG kemudian membahas tiga usulan alternatif akuisisi Chinkara atas Pikko dan Danpac. Alternatif pertama, kepemilikan Chinkara di Pikko disetujui, tapi hak Chinkara sebagai pemegang saham pengendali (PSP) ditiadakan sampai laporan keuangan tiga tahun dipenuhi dan kondisi bank membaik.

Alternatif kedua, akuisisi Chinkara atas Pikko, Danpac, dan CIC disetujui dengan syarat ketiga bank itu dimerger. Sebelum menunjukkan prestasi yang baik sebagai pemegang saham pengendali, Chinkara hanya boleh menjadi PSP pada satu bank. Alternatif ketiga, akuisisi Chinkara terhadap Pikko, Danpac, dan CIC tidak disetujui.

Dari tiga alternatif itu, Siti Fadjrijah menjelaskan bahwa berdasarkan rapat dengan satuan kerja terkait pada 26 Oktober 2001, diusulkan agar RDG menyetujui alternatif pertama. Namun, agar tak terjadi penutupan bank yang disebabkan masalah administratif untuk memenuhi ketentuan BI, diusulkan untuk memilih alternatif kedua, yaitu merger.

Anwar kemudian menanyakan, apakah dengan digabung, bank-bank itu menjadi lebih baik. Siti Fadjrijah menjawab, bila bank-bank digabung, BI dapat menetapkan syarat yang ketat supaya dapat mengontrol pemegang saham. Anwar selanjutnya menyatakan, bila investor potensial dinilai baik, seharusnya tidak dihambat dengan persyaratan administratif yang menyulitkan. Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan, sependapat bahwa BI seharusnya tidak terlalu kaku terhadap masalah administratif.

BPK meminta klarifikasi kepada Anwar pada 13 Oktober 2009 terkait pernyataannya dalam RDG itu. Kepada tim BPK, Anwar menyatakan, "Persyaratan administratif itu berkaitan dengan laporan keuangan tiga tahun berturut-turut. Saya katakan, persyaratan itu tidak terlalu penting, yang penting adalah modal, manajemen, dan tidak melanggar aturan-aturan."

Pada saat RDG 27 November 2001 itu, Deputi Direktur Direktorat Hukum BI menginformasikan bahwa banyak transaksi CIC merupakan penipuan. Selain itu, dana Chinkara untuk mengakuisisi Pikko, Danpac, dan CIC belum bisa dipastikan bebas dari money laundering. Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom, mengusulkan agar dibuat conditional agreement. Jika kelak ditemukan penyimpangan seperti money laundering, izinnya dapat dibatalkan.

Akhirnya RDG 27 November 2001 memutuskan: menyetujui akuisisi Chinkara atas Pikko, Danpac, dan CIC dengan syarat ketiga bank itu dimerger. Chinkara diminta memberikan pernyataan janji untuk memperbaiki kinerja bank, mencegah terulangnya tindakan bank yang melawan hukum, dan mempertahankan CAR 8%. Dewan gubernur menugasi Direktorat Pengawasan Bank 1 selaku koordinator untuk meneliti kepemilikan saham dan kemungkinan adanya money laundering.

Ada Manipulasi, Merger Jalan Terus

Belakangan, pemeriksa BI menemukan sejumlah transaksi yang diindikasikan mengandung unsur manipulatif di Bank CIC, yang diduga melibatkan pihak terkait bank (Chinkara). Pada 29 Mei 2002, digelar pertemuan dengan agenda membahas temuan tim pemeriksa BI itu. Peserta rapat ini adalah Direktorat Hukum, Unit Khusus Investigasi Perbankan, dan Tim Pemeriksan BI pada Bank CIC.

Tim pemeriksa mengungkapkan hasil temuan menyangkut surat-surat berharga fiktif (SSB). Bank CIC membeli SSB CLN Hypovereins Bank senilai US$ 25 juta yang melibatkan Chinkara. Peserta rapat menyepakati bahwa hasil pemeriksaan itu cukup kuat sebagai dasar untuk mempertimbangkan penundaan proses merger Pikko dan Danpac, mengingat adanya masalah Chinkara yang mesti diselesaikan.

Deputi Direktur DPIP kemudian menginformasikan hasil rapat itu kepada Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPwB1) dan meminta agar izin akuisisi ditunda sesuai dengan hasil rapat. Namun, pada 21 Juni 2002, DpwB1 mengirim memorandum kepada DPIP. Isinya, permohonan akuisisi Danpac dan Pikko oleh Chinkara dalam rangka merger dapat dipertimbangkan untuk disetujui dengan syarat Pikko, Danpac, dan CIC dimerger secara bertahap. Dalam wawancara dengan tim BPK, Deputi Direktur DPIP menyatakan, "Surat DpwB1 tanggal 21 Juni 2002 adalah dasar bagi DPIP untuk melanjutkan proses persetujuan akuisisi."

Dalam rangka persetujuan akuisisi, pada 5 Juli 2002, Rafat Ali sebagai calon pemegang saham pengendali menjalani fit and proper test. Pihak pewawancara BI telah mengantongi informasi mengenai penyimpangan pada CIC yang melibatkan Chinkara yang dimiliki Rafat Ali. Namun Rafat Ali dinyatakan lulus dengan nilai 3,6, meski hasil pemeriksaan BI pada 2001 mengindikasikan keterlibatan Chinkara dalam penyimpangan di CIC.

Pada 5 Juli 2002 itu pula, Deputi Gubernur BI, Maman H. Soemantri, menerbitkan surat izin akuisisi Chinkara terhadap Danpac dan Pikko dengan beberapa persyaratan. Syarat itu, antara lain, Chinkara segera mengajukan permohonan izin merger Pikko dan Danpac kepada BI. Bila dari hasil pemeriksaan terhadap CIC terbukti bahwa Chinkara melakukan pelanggaran atau dinyatakan tidak lulus fit and proper test, maka persetujuan akuisisi batal.

Selanjutnya, dalam jangka waktu 12 bulan sejak pemberitahuan BI, Chinkara harus melepaskan kepemilikan sahamnya, baik secara langsung maupun tak langsung, pada bank-bank di Indonesia. Penerbitan surat izin akuisisi ini dilakukan pada saat Rafat sedang menjalani fit and proper test.

Akal-akalan Kredit Kepada Chinkara

Hasil pemeriksaan BI selama 2001 hingga 2003 menunjukkan adanya indikasi pelanggaran di CIC dan Pikko yang siginifikan. Namun persetujuan akuisisi tidak dibatalkan sebagaimana disyaratkan dalam surat izin akuisisi yang dikeluarkan pada 5 Juli 2002. Pelanggaran itu, antara lain, terdapat SSB yang berisiko tinggi di CIC, sehingga bank wajib membentuk pencadangan, yang berakibat CAR menjadi negatif.

Pada periode 2001 hingga 2003 itu pula, CAR CIC dan Pikko jeblok habis. Selama tiga tahun itu, CAR CIC adalah minus 83%, minus 119%, dan minus 87%. CAR Bank Pikko dari 2001 hingga 2003 adalah minus 78%, minus 59%, dan minus 76%. Sedangkan CAR Bank Danpac selalu positif, di atas 25%.

Penempatan pada SSB CLN-ROI itu tidak ber-rating dan tidak diperdagangan secara umum serta hampir seluruhnya dibeli Chinkara, sehingga dikategorikan macet oleh pemeriksa BI sebesar US$ 127 juta. Dari jumlah itu, sebanyak US$ 50 juta adalah SSB fiktif yang dibeli dalam rangka pemberian kredit kepada Chinkara. Kepada tim BPK, HHM, mantan Direktur Bank Century yang juga mantan Direktur Bank Danpac, menyatakan bahwa sejak awal, SSB yang ada di Bank Century (hasil merger CIC, Danpac, dan Pikko) adalah bodong.

BPK juga menemukan biaya-biaya fiktif di CIC, Pikko, dan Danpac. Misalnya, uang muka biaya renovasi gedung CIC yang fiktif, pengeluaran-pengeluaran CIC kepada Chinkara Capital Singapore untuk jasa konsultan tapi tidak disertai dokumen untuk mendukung pengeluaran itu. Ada pula biaya sekolah anak Direktur Pikko yang dicatat sebagai biaya perjalanan dinas, Nilai semua pengeluaran fiktif itu sekitar US$ 1,05 juta dan Rp 15,8 milyar.

Pelanggaran lainnya, kredit Pikko pada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya ditukar dengan medium term notes Dresdner Bank senilai US$ 32 juta yang tidak memiliki rating. Selain itu, ada pula pemberikan kredit fiktif US$ 91,79 juta dan Rp 727 milyar.

BPK juga menilai bahwa BI diduga menghindari penutupan CIC, yang pada Maret hingga Desember 2002 berada dalam special surveilance unit (SSU) atau unit pengawasan khusus. Penempatan CIC di SSU itu dilakukan karena CAR-nya minus 60,07%. Ini akibat penyimpangan dan pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana yang merugikan bank dan membahayakan kelangsungan usaha bank.

Permodalan CIC pada masa SSU itu juga tak terungkap dengan baik karena tim pemeriksa BI di CIC justru ditarik di tengah penugasan. BPK menduga, hal ini dilakukan untuk memuluskan proses merger. Hal itu diduga dilakukan BI karena apabila CAR CIC tetap tak mencapai 8% pada akhir masa SSU, maka sesuai dengan PBI Nomor 3/25 Tahun 2001, tanggal 31 Desember 2001, tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Bank CIC harus ditutup.

Setelah keluar dari SSU, pada 2003 CIC masih memiliki risiko potensial yang dapat berpengaruh terhadap penurunan CAR. Risiko potensial ini terkait portofolio surat berharga yang dimiliki bank yang pada waktu pembelian serta pencatatannya tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian. Yakni pembelian credit link notes yang tidak ber-rating, pembelian ROI-LOAN yang tidak sesuai dengan standar akuntansi karena dicatat 100%, padahal waktu dibeli nilainya hanya 62,67%. Selain itu, US Strip Notes yang nilainya hanya 60,9% dicatat 100%.

Menilik berbagai pelanggaran yang terjadi itu, BPK menilai, patut diduga BI tidak tegas dan tidak prudent menerapkan persyaratan akuisisi Chinkara terhadap Danpac, Pikko, dan CIC. Dari hasil pemeriksaan BI pada CIC juga terbukti, Chinkara terlibat penyimpangan. Maka, Chinkara yang dimiliki Rafat Ali Rivzi itu wajib melepaskan kepemilikan sahamnya pada bank-bank di Indonesia. Merger Century boleh jadi tak bakal terjadi, demikian pula dengan kasus Century.

gatra.com


BOOKING TIKET PESAWAT
Powered By : Blogger